tag:blogger.com,1999:blog-7985934244648111702024-02-08T22:41:04.382+07:00Media & KitaTempat Berbagi Ilmu Untuk Menjadi Konsumen Media Yang Cerdas.Unknownnoreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-51871919322844326802011-09-07T13:20:00.003+07:002011-09-07T13:47:18.272+07:00Pengasuh Itu Bernama Televisi, Internet Dan HandphoneSaat ini anak-anak masih dalam masa liburan. Jika saya perhatikan, anak-anak SD banyak yang menghabiskan waktu liburannya dengan menonton televisi dan bermain komputer atau internet.<br />
Di waktu libur sekolah, televisi umumnya menyuguhkan acara-acara tambahan untuk anak-anak di luar acara reguler.<br />
<br />
Kecenderungan orang tua memang melonggarkan waktu bagi anak untuk menonton televisi dan bermain komputer dan internet pada saat liburan. Tidak masalah <i>sih</i>, namun akan menjadi masalah jika tidak dalam pengawasan orang dewasa yang mampu melakukan transfer nilai-nilai pada anak. Maksudnya, walau anak melihat acara kartun, yang sering diasumsikan sebagai tayangan anak bebas dari "muatan dewasa", tetaplah dampingi anak tsb. Hal ini sudah pernah saya singgung <a href="http://elseberbagi.blogspot.com/2011/05/kritis-menilai-acara-anak.html">disini</a> . <br />
<br />
<a name='more'></a>Dua barang elektronik itu (TV & komputer/internet) dapat mengajarkan anak mengenai hal yang baik maupun yang buruk. Seperti kita tahu sendiri, berapa banyak <i>sih</i> tayangan televisi yang bermuatan pendididkan?, belum lagi ditambah <i>game-game</i> di internet yang juga sealiran dengan tayangan televisi.<br />
Potensi anak untuk menyerap muatan negatif dari media semakin besar saat waktu mengkonsumsinya juga semakin banyak. Jadi makin banyak mengkonsumsi media tanpa pendampingan disinyalir akan membawa dampak buruk yang makin banyak juga.<br />
Isi media dan <i>game</i> yang tidak aman bagi anak tersedia berlimpah di negeri kita ini. Dari <i>game </i>yang mengandung kekerasan dan seks, hingga tayangan televisi yang penuh <a href="http://berbagibersana.blogspot.com/2008/08/gosipinfotainmentmembuat-bebal.html">gosip dan pembodohan </a>.<br />
<br />
Jika anak SD cenderung menonton televisi, tidak begitu dengan anak SMP dan SMA, mereka sering bermain dengan <i>HP </i>nya (anak SD ada juga sih, tapi gak banyak) <span style="color: #38761d;">*ini menurut pengamatan saya lho*</span><br />
<i>BlackBerry (BB)</i> adalah satu <i>gadget</i> yang gak boleh lepas dari genggaman para ABG ini. Dari<i> BB</i> ini dapat mengakses ke internet atau sekedar <i>BlackBerryMessenger-an (BBMan)</i>. <br />
Jangan dikira BBM tak mengandung muatan negatif, banyak orang yang mengirim kata-kata maupun foto yang tak layak.<br />
<br />
Alangkah idealnya jika orangtua melakukan perencanaan yang baik dalam memanfaatkan waktu liburan dengan anak. Sebaiknya anak diajak untuk melakukan kegiatan yang memperkaya pengetahuan dan menggerakkan otot motoriknya. Menyerahkan anak pada asuhan benda elektronik bukanlah pilihan bijak. Jika harus melakukan hal itu, cobalah memilihkan DVD/VCD film yang mendidik.<br />
Untuk film-film DVD/VCD yang ditonton di rumah, pilih dan tonton sebelum anak menontonnya, karena banyak kejadian film-film anak di DVD/VCD bagus diawal namun ditengahnya disisipi adegan tak tak layak tonton bagi anak. Dan yang tak kalah pentingnya adalah lakukan<b style="color: red;"> pendampingan </b>saat anak menonton. Orang tua dapat mentransfer nilai-nilai postif pada tontonan tersebut kepada anak.<br />
<br />
<div style="color: red;"><b>Jangan menyerahkan pengasuhan terhadap anak kepada barang elektronik, televisi, komputer/internet dan HP.</b></div><br />
Wallahu' alamUnknownnoreply@blogger.com15tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-491123134626529212011-08-08T15:45:00.001+07:002011-08-08T15:45:41.514+07:00Anak DigitalAnak-anak yang lahir setelah tahun 1980 dapat disebut <b>Anak Digital</b> atau<b> Digital Natives</b>. Mereka mengakses teknologi jejaring digital serta memiliki keterampilan dan pengetahuan. <br />
Jika mereka disebut digital Natives, lalu siapakah para orang tuanya?. Para orang tua itu disebut <i>Digital Immigrants</i>, yakni mereka yang telah mengadopsi dan menggunakan internet serta teknologi terkait, namun terlahir sebelum era digital.<br />
Digital Immigrants belajar bagaimana mengoperasikan komputer, membuat dan menggunakan e-mail dan jejaring sosial, namun proses itu berlangsung "terlambat" dibanding Digital Native yang mengenyam teknologi sejak dini.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Pemahaman mereka yang tumbuh di era digital tentang internet menjadikan mereka satu tingkat atau beberapa tingkat lebih tinggi dibanding generasi digital Immigrants.<br />
Namun bukan berarti pemahaman tersebut membuat mereka terhindar dari hal-hal yang buruk akibat penggunaan internet. Beberapa penelitian dan pemberitaan menunjukkan justru generasi inilah yang rentan terkena dampak negatif internet.<br />
Salah satu dampak penggunaan internet, terutama di usia remaja, adalah kecanduan atau adiksi.<br />
Kecanduan adalah pangkal segala jenis masalah lain yang timbul akibat penggunaan internet. Remaja bisa menarik diri dari lingkungan sosial, kehilangan konsentrasi belajar, mengalami gangguan kesehatan, bahkan menjadi korban dari kejahatan dunia maya (cyber crime).<br />
Orang tua dan guru juga sebaiknya memahami karakter anak digital ini. Digital Natives lebih memilih membaca blog, atau media online daripada surat kabar atau majalah. Mereka lebih memilih bertemu orang lain secara online sebelum bertemu secara langsung. Interaksi sosial anak-anak ini, termasuk pertemanan dan aktivitas kemasyaraktan dimediasi oleh teknologi digital.<br />
<br />
Digital Natives adalah generasi yang mengutamakan kecepatan. Maklum mereka hidup di era internet, dimana komunikasi dapat dengan cepat dilakukan dan informasi sangat ceat tersebar. akibatnya mereka cenderung untuk melakukan segala hal dan menginginkan sesuatu dengan cepat.<br />
<br />
Genersi digital juga tidak menyukai segala sesuatu yang konvensional dan standar. Mereka senang yang baru dan inovatif. bisa dibayangkan bagaimana jenuhnya anak-anak ini ketika membaca buku teks mereka di sekolah yang masih memakai pendekatan linear dan konvensional.<br />
Bisa dibayangkan pula bagaimana anak-anak ini yang terbiasa dengan penyajian internet nan menyenangkan, lalu harus mendengarkan guru mereka di sekolah yang masih menggunakan metode keonvensional dalam mengajar. Bagi anak digital cara mengajar seperti itu dianggap <i>basi</i>.<br />
<br />
Mereka juga amat menghargai kebebasan, mulai dari kebebasan memilih, hingga kebebasan berekspresi. Ini tentu tidak lepas dari "ideologi" internet itu sendiri. Sebuah media yang dikenal tidak mengenal batasan. Karena itulah, tak heran jika digital natives menganggap kebebasan sebagai salah satu nilai terpenting dalam kehidupannya.<br />
<br />
Orang tua, guru dan kita semua sudah tidak bisa lagi menghindar dari tuntutan untuk memahami media-media baru dengan baik sekaligus memahami interaksi antara anak generasi digital dengan media-media baru.<br />
Pemahaman bukan hanya diperlukan agar kita tidak menjadi orangtua dan guru yang mendapat label "gaptek" atau "jadul", tetapi menjadikan kita, si <i>digital immigrants</i> lebih memahami karakter <i>digital natives</i>. Dengan demikian dapat menjalin komunikasi yang lebih baik dengan mereka.<br />
<br />
Wallahu alam<br />
<br />
(sumber Nina Muthmainah Armando)Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-50428951112338764062011-06-29T22:15:00.007+07:002011-10-16T13:46:42.555+07:00Kebebasan Berekspresi Di Internet<div class="MsoNormal">Dulu saya pernah dituduh kerjaannya hanya cekakak cekikik main FB-an aja. Wah saya sebel banget dikatain hanya ketawa ketiwi seharian di internet, gak terima banget. Amat sangat fitnah itu. Faktanya saya berinternet untuk mencari informasi, membaca berita, menulis, jualan, promosi usaha saya dan tentu saja di sambi FB-an & Twitteran. Jadi bukan cuma cekakakan saja.<br />
Saat itu saya sangat kesal dan ingin menjelaskan pada si penuduh itu, bahwa apa yang dia pikirkan tentang saya adalah salah. Tapi ternyata sulit memberitahu orang semacam dia. Orang yang tidak paham Internet tapi sok tau, merasa sudah paham luar dalam tentang internet (lho kok saya jadi curhat?).Dia terlahir sebelum era internet dan hingga saat ini tak ingin juga belajar internet, tapi dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">gagah berani</i> menuduh saya dengan tuduhan yang kejam meyayat hati seperti itu. Sungguh perih hati ini, bagai disayat sembilu (maaf saya terkontaminasi oleh sinetron, jadi bahasanya sangat didramatisir :D).<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Saya bertanya pada diri saya sendiri, kok saya sampai dituduh seperti itu, memang apa yang telah saya lakukan?..ternyata keaktifan saya di FB lebih “terpantau” oleh sang penuduh dari pada keaktifan saya menulis di blog. Dan penuduh itu tidak tahu bagaimana sebuah tulisan di internet bisa bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Apalagi si penuduh juga tidak mengetahui jika saya mempunyai beberapa blog dengan tema yang berbeda, yang memang sengaja secara berkala saya update. Wuih pokoknya lengkap deh penderitaan saya gara-gara tuduhan yang tidak mendasar ini.</div><div class="MsoNormal">Hal tersebut diatas adalah salah satu alasan mengapa sampai saat ini saya aktif membantu mensosialisasikan film <a href="http://kalamkata.org/2011/02/20/linimassa-program-film-dokumenter/">Linimas(s)a</a> (sebuah film yang sangat inspiratif, yang memberitahu masyarakat bahwa kita bisa cerdas bersama internet) dan<a href="http://ictwatch.com/internetsehat/"> Internet Sehat</a>, bersama dengan komunitas <a href="http://www.facebook.com/home.php?sk=group_106544342745212/">Blogger Bertuah</a> (komunitas Blogger Pekanbaru). <br />
Pengalaman saya ini adalah fakta yang banyak terjadi. Dan seharusnya tidak perlu terulang hanya karena kurangnya pemahaman pada masyarakat.<br />
<br />
Saya hidup diantara orang-orang yang tidak menggunakan internet secara maksimal dalam kesehariannya. Maka tidak heran jika saya sering mendengar ketakutan-ketakutan yang tidak mendasar terhadap internet.<br />
Salah satu pekerja di Rumah Jahit saya bahkan pernah melarang anaknya pergi ke warnet, gara-gara dia khawatir anaknya akan membuka situs porno. Padahal anaknya meminta ijin padanya untuk mencari soal-soal ujian, agar bisa berlatih di rumah. Perilaku ketakutan berlebihan seperti itu tentu menghambat kemajuan seseorang.<br />
Ternyata di kalangan orang awam internet masih dianggap <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“mahluk”</i> yang menakutkan, yang akan memberi dampak negatif bagi para penggunanya. <br />
Wah itu tentu saja anggapan yang tidak benar tho?...wong internet itu dibuat untuk memudahkan hidup kita.<br />
Eh saya jadi ingat salah satu tweet yang saya baca, bunyinya gini, "Kalau yang kamu buka adalah tong sampah, maka kamu hanya akan menemukan sampah", artinya apa?..buanglah sampah pada tempatnya?..tentu saja, buang sampah ya harus pada tempatnya, tapi maksud kalimat itu adalah, jika kita membuka situs yang sebenarnya kita sudah tau situs itu tak bermanfaat bagi kita, maka kita hanya seperti menemukan sampah saja. whew..gak mbuka situs sampah aja kita dah ketumpukan sampah.</div><div class="MsoNormal"></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><span style="font-size: large;"><b>Social Media (Jejaring Sosial)</b></span><br />
<br />
Demam FB telah menjalar ke seluruh lapisan masyarakat. Sebagai guru privat, saya berusaha menularkan ilmu internet saya (yang tidak seberapa ini) pada orang tua murid, yang kebanyakan dari mereka tidak tahu tentang internet (karena pada jaman mereka sekolah belum ada internet). <br />
Maksud saya menularkan ilmu internet ini adalah, setidaknya para orang tua bisa memantau kegiatan anaknya berselancar di dunia maya. Salah satu yang saya ajarkan pada orangtua murid adalah tentang Facebook (FB). Eh tanpa dinyana, tanpa disangka sodara-sodara, ternyata setelah tahu tentang Facebook, para <i style="mso-bidi-font-style: normal;">emak-emak</i> ini kok malah asik FB an. Trus anaknya pada protes ke saya, “Miss Novi kenapa ngajari mama FB-an sih?, sekarang mama suka heboh ma FB nya”….whaduh…<br />
<br />
Hingga tibalah di suatu senja yang hening, saat langit bersemburat lembayung (maaf saya agak mendramatisir suasana). Saya menonton film Linimas(s)a bersama beberapa teman blogger. Saat itu juga saya langsung meng add FB nya mas <a href="http://www.facebook.com/harryvanyogya/">Harry</a> (salah satu tokoh di film Linimas(s)a) dan mas Harry langsung merespon, kami terlibat pembicaraan tentang film tersebut.<br />
Setelah menonton film tersebut, saya dan teman-teman blogger tergerak untuk mensosialisasikan film ini pada masyarakat dengan mengundang salah satu yang terlibat dalam pembutan film tersebut. Alhamdulillah pakdhe <a href="http://www.facebook.com/blontankpoerDOTcom/"> Blontankpoer</a> sempat hadir dalam pemutaran film Linimas(s)a di gedung Bapeda Pekanbaru.<br />
Melihat film yang menginspirasi dan mendengarkan langsung dari sumbernya tentang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">social media</i>, adalah pengalaman tak terlupakan dan yang terpenting bermanfaat. Bukan saja untuk pribadi namun juga untuk banyak orang. <br />
<br />
<b><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 18pt; line-height: 115%;">Bagaimana kondisi kebebasan berekspresi (via Internet) di Indonesia dewasa ini?</span></b><br />
<br />
Masih ingatkah kita akan peristiwa Prita?<br />
Seorang wanita biasa yang hanya ingin berbagi dengan teman di milis tentang ketidakpuasannya atas layanan sebuah rumah sakit berlabel internasional, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan mendekam di penjara. Dengan UU ITE pihak rumah sakit menggugat secara perdata dan pidana, hingga Prita dipenjara selama 3 minggu dan membayar denda Rp.204 juta. Tanpa dia sangka, melalui social media masyarakat banyak yang mengetahui kasus ini, kemudian lahirlah Page Koin Peduli Prita, yang pada akhirnya membebaskan Prita dari segala tuntutan dan jutaan masyarakat turut serta menyumbang koin solidaritas untuk membayar dendanya.<br />
<br />
Peristiwa yang dialami Prita tersebut, bisa jadi menimpa pengguna internet lainnya. Ketidak jelasan regulasi dalam kebebasan menyatakan pendapat melalui internet bisa-bisa justru menjerat orang untuk tidak menggunakan internet atau khawatir jika ingin menyatakan sesuatu di internet. Jika ditilik ulang, apa sih yang salah dengan Prita?. Dia hanya ingin berbagi dengan teman melalui milis, bukan disebar untuk umum…coba bayangkan jika itu ditulis di blog, twitter atau facebook, mungkin hukumannya lebih berat kali ya? :P, soalnya blog, twitter dan facebook kan lebih “terbuka” daripada milis.<br />
<br />
Ketika saya sedang melakukan sosialisasi tentang Internet Sehat dan <a href="http://www.madingonline.net/">Mading Online</a> untuk guru-guru se Riau, ada sesorang guru mengatakan, kebijaksanaan sekolahnya telah mengeluarkan seorang siswa yang telah dengan sengaja merekam dan mempublikasikan rekaman yang tak layak untuk dilihat dan dapat memberi dampak buruk bagi para penontonnya.<br />
Hal di atas merupakan satu contoh kasus, bagaimana kebebasan diartikan secara salah.<br />
<br />
<br />
Banyak orang (setidaknya di sekitar saya) mengatakan “Makanya jangan sembarangan nulis di internet”…Lho???...maksudnya??? kalo gak di internet boleh sembarangan?. Ya gak juga.<br />
Mungkin maksud orang-orang tersebut adalah berhati-hatilah dengan apa yang kau tulis. Kalau kata Internet Sehat sih <b>“Wise while online, think before posting”</b>.<br />
Kebebasan mutlak itu hanya ada jika kita hidup sendiri. Jika kita telah berhadapan dengan orang lain atau bersosialisasi dengan orang lain, maka sebenarnya kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan juga dibatasi oleh norma yang berlaku di wilayah tertentu.<br />
<br />
Kebebasan berekspresi di internet bukan hanya didominasi oleh tulisan. Masih segar di ingatan kita tentang Keong Racun-nya Shinta Jojo, Briptu Norman dan Udin Sedunia yang sempat<i> booming</i> di masyarakat.</div><div class="MsoNormal">Mereka adalah bagian masyarakat yang menggunakan internet sebagai wadah berekspresi.<br />
Shinta dan Jojo yang sukses dengan lipsinc lagu Keong Racun (yang malah mengalahkan penyanyi aslinya), dan videonya didownload jutaan orang. Begitu pula yang dialami Briptu Norman yang sangat berekspresi saat joget duduk bin jaga kantor bin pakai seragam polisi. Sangat fenomenal, karena kepolisian dipandang sebagai lembaga yang "kaku", yang kalau sedang bertugas, mukanya harus kliatan tegas, dan selama ini belum ada video yang menampilkan polisi yang sedang bertugas malah joget india.<br />
Hal yang sama dialami juga oleh Udin, pemuda asal Lombok yang menuangkan ekspresi lewat sebuah lagu dan menguploadnya ke internet. <br />
Sebenarnya banyak contoh sukses seperti halnya mereka bertiga, namun jika saya ceritakan semua disini, bisa habis 3 halaman nih.<br />
Ssstt...tapi apa kabarnya ya ketiga "artis" dadakan itu?. Kok sekarang gak kedengaran lagi?</div><div class="MsoNormal"><br />
<b><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 18pt; line-height: 115%;">Bagaimana sebaiknya pengguna Internet di Indonesia dalam mengatur dirinya sendiri?</span></b><br />
<span style="font-size: large;"><br />
</span><br />
Data yang tersaji di film Linimas(s)a menunjukkan betapa pontensialnya Indonesia sebagai pengguna internet. Indonesia sebagai pengguna ke dua terbanyak dalam jumlah pengguna facebook dan twitter.<br />
Ditambah lagi dengan jumlah blogger dan netter yang juga tak kalah banyaknya. Jika jumlah yang banyak ini dibarengi dengan pemahaman yang benar maka saya yakin Indonesia akan mampu menjadi bangsa yang kuat dan mandiri. Karena sebenarnya keberadaan internet adalah untuk memudahkan kita mendapatkan, menyampaikan dan membagikan informasi. Sedangkan informasi itu sendiri adalah kekuatan.<br />
<span style="font-size: large;"> </span><br />
Internet bukanlah tempat sampah dimana kita bisa menumpahkan apa saja kedalamnya.</div><div class="MsoNormal">Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mari kita biasakan untuk berpikir cerdas, berpikir bijaksana sebelum mengambil tindakan. Bahwa apa yang kita posting (baik berupa tulisan, gambar, video maupun suara) akan selalu diikuti oleh dampak. Jika kita ingin menjadi manusia yang penuh manfaat bagi sesama, maka selayaknya hanya dampak baiklah yang kita sebar. Dan ingat di internet, sekali kita memposting, kita tidak akan pernah bisa menariknya kembali.<br />
<br />
Setelah saya bercerita panjang lebar tentang kebebasan berekspresi di internet, akhirul kata, saya berharap kita bisa menebar manfaat bagi sesama.<br />
<br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-74130677134460052942011-05-31T12:17:00.000+07:002011-05-31T12:17:17.897+07:00Kritis Menilai Acara AnakSaya masih ingat saat sekitar tahun 2002/2003 ada tayangan telenovela berjudul "Amigos" yang mengambil setting latar belakang sebuah sekolah.<br />
Kemudian saat tayangan itu usai masa tayangnya, seorang guru dari Brebes menulis surat ke salah satu majalah, yang isinya minta agar pihak stasiun TV menayangkan telenovela itu kembali karena murid-murid di kelasnya sangat menyukai tayangan tersebut.<br />
Dengan alasan bahwa para murid itu tak percaya diri menulis surat, maka jadilah guru ini yang membantu murid-muridnya menyampaikan keinginannya.<br />
<br />
Saya sendiri hanya sekilas melihat telenovela Amigos tersebut, namun dari satu media saya membaca garis besar ceritanya.<br />
<a name='more'></a><br />
Amigos menceritakan sebuah sekolah milik keluarga Hulia yang janda, Hulia lebih menyukai Francisco, menantunya daripada Salvador, anaknya sendiri. Francisco pandai mengambil hati Hulia, sehingga Hulia selalu menyetujui pendapatnya, Salvador tidak menyetujui metode pendidikan ibunya.<br />
Francisco berusaha membunuh Salvador demi merebut warisan keluarga.<br />
Dengan inti cerita yang seperti itu, saya sangat yakin tayangan ini bukan terkategori "Acara Anak". Ini lebih pada telenovela dewasa (yang tidak bermutu).<br />
Oleh pihak stasiun televisi yang menayangkan, Amigos memang diposisikan tayangan anak. Dan dengan naifnya guru dari Brebes itu mengira setiap tayangan yang diposisikan sebagai tayangan anak oleh pihak stasiun TV maka layak dan aman untuk ditonton anak.<br />
<br />
Guru itu sebenarnya tidak sendian, banyak orang dewasa yang berpendapat seperti itu.<br />
Jika pihak TV telah mengatakan suatu tayangan adalah "Acara anak", mereka akan melepas anak menonton sendiri tanpa pendampingan.<br />
Mari kita cermati beberapa film yang banyak dikategorikan masyarakat (dan pihak TV) sebagai tayangan anak.<br />
Popeye misalnya, film kartun klasik yang sangat populer ini mengandung muatan negatif. Terutama seks dan kekerasan. Brutus yang bertubuh besar sering menganiaya Popeye si pelaut. Adapun muatan seks ditampilkan melalui upaya-upaya pelecehan seks yang dilakukan Brutus pada Olive, kekasih (atau istri???) Popeye.<br />
Atau barangkali film Simpson, yang penuh muatan kata-kata kotor dan tindakan tak layak untuk ditiru.<br />
Memang kedua film tersebut adalah kartun, namun kartun bukanlah identik dengan anak. Isi cerita yang disajikan bukanlah dunia anak. Namun persoalan orang dewasa.<br />
<br />
Sangat menyedihkan seandainya orangtua, guru, atau kita yang dewasa ini tak mampu menilai sebuah tayangan yang amandan bermanfaat bagi anak.<br />
Kepekaan dan daya kritis sangat diperlukan, karena anak-anak adalah kalangan yang rentan dan potensial terpengaruh acara TV.<br />
Anak sangat cepat meniru, kemungkinan melakukan<i> imitasi</i> sangat besar terhadap apa yang mereka lihat.<br />
Apalagi TV adalah media yang hampir tidak memungkinkan penontonnya merenung. Sajian TV terus menerus menjejali penontonnya dengan sajian yang berganti-ganti, sehingga penonton tak lagi sempat berpikir, dan lagi jika ada jeda, maka diisi oleh iklan. <br />
<br />
Apa yang disebut acara anak oleh pihak stasiun TV belum tentu sehat dan bermanfaat bagi anak. Tidak bisa tidak! kita yang dewasa ini harus selektif untuk mengizinkan anak mengkonsumsi acara anak di TV. Hanya yang sehat dan bermanfaat saja yang boleh dikonsumsi. Jangan sampai kita menjadi orang dewasa yang naif (atau terlalu bodoh) untuk membiarkan anak-anak kita terjebak pada apa yang disebut "Acara Anak" oleh pihak stasiun TV.<br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-39171042506475670292011-05-10T23:01:00.001+07:002011-05-31T12:17:55.107+07:00Televisi Si Penjadwal KegiatanDaya tarik televisi begitu besar. Program yang ditayangankan potensial untuk mengagendakan kegiatan kita. Lihatlah banyak anak-anak yang mengawali pagi harinya dengan menonton kartun yang diputar di televisi daripada beribadah, belajar atau mandi. Bisa jadi yang membangunkan mereka adalah suara lagu tema film kartun di televisi, bukannya suara ayah atau bundanya.<br />
<br />
Saya ingat sekitar tahun 1996, saat sinetron si Doel I ditayangkan di televisi setiap hari minggu malam, maka jalanan menjadi sepi. Bahkan saat bulan Romadhon setiap malam senin yang datang tarawih hanya sedikit, disebabkan jamaah lebih memilih menonton sinetron daripada Tarawih.<br />
<br />
Para pakar memang mengatakan bahwa salah satu dampak kehadiran televisi adalah adanya efek penjadwalan kegiatan.<br />
<a name='more'></a><br />
Di satu artikel, disebutkan hasil sebuah penelitian yang dilakukan di satu desa di Sulawesi Utara pada akhir tahun 70-an yang menunjukkan bahwa sebelum televisi masuk desa mereka, penduduk bisa bekerja 10 hingga 11 jam sehari. Namun, sejak ada televisi, kaum muda dan anak-anak lebih malas untuk bekerja dan sekolah pagi, karena mereka menonton televisi hingga larut malam.<br />
Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa kehadiran televisi telah mengurangi waktu bermain, tidur, dan membaca.<br />
<br />
Tidak ada salahnya jika kita menonton televisi, yang perlu dicermati adalah isi tontonan itu dan kemampuan kita untuk memilih tayangan yang akan ditonton serta mampu “kreatif” menikmati tayangan tersebut.<br />
Maksud “kreatif” disini adalah cara cerdas kita untuk tetap mendapatkan isi tayangan tersebut tanpa harus meninggalkan pekerjaan kita.<br />
Misalnya menyalakan televisi saat acara berita atau tayangan yang kita sukai, sembari kita mengerjakan sesuatu. Bukankah mendapatkan isi tayangan televisi tidak harus duduk di depan televisi?<br />
Saya suka acara musik dan berita, namun pada saat yang sama saya juga harus memasak dan membersihkan rumah, maka hal yang saya lakukan adalah<i> menyetel</i> televisi yang ada di ruang keluarga, dan saya masak di dapur, namun telinga saya tetap mendengarkan suara televisi. Jika ada hal yang sepertinya ingin saya lihat visualnya, maka saya hentikan sejenak pekerjaan saya, untuk sekedar melihat tayangan visualnya.<br />
<br />
Kitalah yang seharusnya mengatur kegiatan kita, jangan sampai pekerjaan utama kita terbengkalai hanya gara-gara menikmati tayangan “sampah”.<br />
<br />
Wallahu’alamUnknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-4647319592516971212011-05-06T23:20:00.002+07:002011-05-31T12:18:24.616+07:00Jebakan Media Sosial Di InternetPagi hari ini saya dapat "Sarapan" yang sungguh "Bergizi" dari seorang teman di dunia maya.<br />
Beliau menulis tentang "Kebohongan Indah atau Kebenaran Tolol?".<br />
Ada sebaris kalimat yang membuat saya tercenung.<br />
<b>"JEBAKAN dari dunia SOCIAL MEDIA di internet, bila tidak berhati-hati meladeni keinginan untuk "EXIST' dan terlihat "HEBAT". <br />
Seberapa sering membuat note, status, comment, wall post, lalu setelahnya berharap akan ada jempol yang singgah.</b><br />
<br />
Bagai disentil di telinga, saya sebagai pengguna internet dengan segala fiturnya merasa pernah melakukan hal tersebut. Hampir 24 jam saya mengonlinekan internet baik dari laptop atau dari HP. Sebentar-sentar saya melihat internet untuk mencari artikel dan info, melihat e-mail atau melihat facebook dan twitter.<br />
Memang jejaring sosial yang tersedia di internet kadang memancing kita untuk<b> "minta perhatian"</b> orang lain.<br />
Jujur, saat awal tergabung dalam jejaring sosial saya pernah menulis status dengan harapan dapat komen (biasa..masih norak)<br />
<a name='more'></a><br />
Pernah juga menulis di note dengan "dibubuhi"percikan kesombongan.<br />
Namun semuanya itu memberi pelajaran pada saya, bahwa menulis dengan harapan mendapat banyak komen hanya akan membuat kita sibuk berpikir nulis apa ya besok???. padahal inti dari suatu tulisan kan memberi informasi. Syukurlah saya sadar bahwa perbuataan tersebut sama saja dengan membodohkan diri sendiri.<br />
Insya Allah saya bukan keledai yang terperosok dalam lubang yang sama. Hal tersebut tidak akan terulang lagi.<br />
<br />
Saya adalah tipe orang yang lebih suka menggunankan bahasa tulisan untuk mengkomunikasi sesuatu yang terasa sulit untuk diungkapkan dengan lisan. Maka, bahasa tulisan saya yang <i>terpublish</i> di dunia maya adalah sarana efektif untuk menyampaikan apa yang tak tersampaikan oleh lidah. <br />
Sempat diprotes oleh teman kenapa saya sering sekali update status?<br />
Menurut saya tak mengapa mau menulis status di jejaring sosial sesering yang kita inginkan.<br />
Asal tidak memprovokasi dan tulisan itu bermanfaat bagi pembacanya, silahkan saja.<br />
<br />
Saya sudah merasakan pahitnya efek berselancar di internet. (dan saya tidak kapok, karena itu saya anggap sebagai resiko. Bukankah setiap perbuatan selalu mengandung resiko?)<br />
Saya telah merasakan tidak tidur selama 2 hari karena sibuk mengotak-atik blog, dimarahi (Almh) mama karena jadi kurang istirahat disebabkan keasyikan online, di maki-maki perempuan (yang tak kukenal) yang merasa saya telah memikat pujaan hatinya dengan tulisan saya, dikirimi foto bugil seseorang, diajak chat porno, dan yang paling sering adalah dituduh online terus sampai lupa waktu karena hanya ingin <i>cekakak-cekikik</i> dengan orang-orang dari dunia maya. *sebel deh*<br />
Tuduhan itu sempat membuat saya mundur sejenak dari dunia maya, namun akhirnya saya pikir itu bukan solusi tepat. Solusi tepat untuk membungkam segala tuduhan itu adalah dengan memberikan bukti.<br />
Bukti bahwa kita tidak hanya bermain-main dgn FB-an dan internetan seharian, bukti bahwa kita tidak hanya ketawa-ketiwi di internet.<br />
Butkikan bahwa kita bisa menebar manfaat bagi orang banyak melalui internet, bisa bertambah baik karena internet.<br />
<br />
Tentu saja karena internet adalah tempat dimana orang lain bisa mengaksesnya, maka yang kita posting adalah sesuatu yang bisa dibaca, didengar maupun dilihat orang lain, maka HARAM bagi saya "berkelahi" di dunia maya. Saya juga tak akan mempublish hal-hal yang saya anggap privat. Bagaimana dengan curhat?. Beberapakali status saya adalah status curhat, namun tentu saja saya tak menuliskannya dengan detail. <br />
<br />
Dimanapun kita berada maka setan akan selalu menyertai...jika anda pengguna aktif internet, maka setannya pun menjelma dalam bentuk pengaruh-pengaruh buruk dalam berinternet, entah itu terlena karena asyik chatting hingga melupakan hal yang harusnya dikerjakan (saya pernah lupa sholat ashar, gara2 asyik chat di YM), membuka situs yang tidak membaikkan, melihat sesuatu yang tidak halal untuk dilihat, pamer, bohong, memprovokasi, memata-matai, menteror atau apapun bentuk-bentuk negatif dalam berselancar di dunia maya.<br />
<br />
Karena saya sudah merasakan pahit manisnya berinternet, maka mohon untuk tidak menghakimi<i> orang yang kerjanya online terus. </i><br />
Saat kita melihat orang yang gemar <i>mendandan</i>i motornya hingga menghabiskan sekian puluh juta rupiah, maka kita akan berpikir Nih orang kenapa sih buang-buang uang untuk sesuatu yang tak berguna"<br />
Ya kita berpikir hal tersebut tak berguna, tapi tidak dengan orang yang punya hobi memodifikasi motor, hal tersebut adalah kepuasan.<br />
Begitu pula dengan<i> orang yang online terus, </i> yang senang menulis lalu <i>mempublishnya</i> di internet sebagai bentuk kesombongan, pamer, ingin dipuji atau label negatif lainnya.<br />
Bagi orang yang gemar menulis, lalu tulisan tersebut dibaca orang adalah suatu kepuasan.<br />
Yang bisa kita lakukan adalah<b> AMBILLAH YANG BAIK TANPA PRASANGKA BURUK.</b><br />
<b>Bukan kapasitas kita untuk menilai orang tersebut sombong, pamer ilmu, lebay, sok dan lain-lain.</b><br />
<b>Menurut saya justru dengan berpikir seperti itu kita sudah terjebak dalam berburuk sangka</b>. (dan setanpun bertepuk tangan, sukses menjalankan misinya)<br />
<br />
Besar harap saya semoga kita dapat dengan bijak menggunakan tehnologi internet. <br />
Jangan sampai kita terjebak dengan internet yang bisa-bisa membuat hidup kita tak nyaman.<br />
Jika diawali dengan niat baik dan disertai dengan ilmu lalu dikawal dengan pemahaman agama yang baik, maka Insya Allah internet dengaan segala isinya adalah sarana yang tepat untuk mencerdaskan diri dan menebar manfaat <br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-51255017956056976752011-04-14T01:12:00.001+07:002011-05-31T12:23:27.353+07:00Belajar Bersama MediaBanyak hal yang bisa kita lakukan untuk bisa belajar, untuk bisa lebih banyak tahu. Salah satunya belajar melalui media. Media apa?..tentu banyak ragamnya, bisa buku, televisi, film, game di komputer<br />
Menurut pengalaman saya, media sangat ampuh dan potensial digunakan untuk belajar. Saya pernah membuat percobaan kecil belajar menggunakan media internet dan belajar dengan media buku seperti cara konvensional (anak membaca dan menghafalnya).<br />
Salah seorang murid saya ajarkan bahasa inggris dengan cara membaca buku dan mengingat beberapa kosa kata, lalu pada pertemuan berikutnya dia saya ajarkan bahasa inggris dengan cara membaca sebuah cerita lalu mencatat kosa kata yang tak diketahui artinya dan saya minta dia menggunakan google translate untuk menerjemahkannya. Dan ternyata sang murid lebih nyaman dan lebih senang belajar dengan menggunakan internet (terbukti lebih banyak kosa kata yang diingatnya saat belajar dengan internet, daripada hanya menghafal dari buku). <br />
<a name='more'></a>Mengapa anak merasa lebih nyaman dan lebih menikmati belajar saat menggunakan internet?, karena sesungguhnya saat itu anak sedang mempelajari hal-hal baru, cara menggunakan internet, mempraktekkan penggunaan gesture sebagai pengganti mouse, menikmati gambar-gambar yang dapat bergerak seperti halnya di televisi dll, yang tidak anak dapatkan saat membaca buku. Sebenarnya anak sedang menikmati "percobaan" menggunakan perangkat internet. Tentu saja penggunaan internet untuk sarana belajar bagi anak-anak perlu pendampingan. Ini hanya percobaan kecil, bukan menunjukkan hasil secara global<br />
<br />
Menurut pengalaman saya, belajar yang baik adalah belajar tanpa merasa sedang belajar. Artinya anak harus merasa tidak dipaksa untuk mengerti suatu hal, namun sesungguhnya dia sedang menggali satu hal yang akan memperluas wawasannya dan mendapatkan pengalaman baru. Cara mengajar menentukan nyaman dan tak nyamannya anak dalam mendapatkan suatu pengetahuan baru.<br />
<br />
Menggunakan media sebagai sumber pengetahuan membutuhkan persyaratan, yaitu pendamping (sang pengajar) yang harus berperan aktif. Seorang ahli pendidikan anak menyebutkan bahwa yang harus dilakukan agar media dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar adalah dengan apa yang disebut <i>"Membaca Media" </i>yang intinya melatih anak untuk berpikir kritis dan menikmati kegiatannya.<br />
<br />
Selalu dampingi anak saat menggunakan media sebagai sumber belajar. Jika menggunakan media buku, maka pilihlah buku yang akan dibaca bersama anak, mintalah anak untuk membacanya, lalu diskusikan bersama. Disini anak akan belajar banyak kosa kata baru, belajar tentang bahasa tulisan (yang tentu saja berbeda dengan bahasa lisan). Anak juga belajar tentang struktur bahasa yang benar.<br />
Jika belajar melalui film, ajaklah anak untuk memilih film, lalu mengidentifiksinya, kemudian menonton bersama, mendiskusikannya dan mintalah sang anak untuk berkomentar. Dari film anak belajar tentang ragam cara menyampaikan pesan, ragam bahasa, dll.<br />
Lalu kaitkan apa yang telah dibaca atau ditontonnya dengan pengalaman anak. Disini anak diajarkan untuk mampu mengungkapkan apa yg dia rasakan, yang dia inginkan dalam bentuk lisan, hal ini melatih anak berani berbicara secara <i>asertif</i> (menngungapkan apa yang dia inginkan tanpa membuat orang lain tersinggung)<br />
<br />
Media memang bagai pisau bermata dua yang mampu mencerdaskan dan mampu membodohkan.<br />
Peran orang tua, guru dan anggota masyarakat yang peduli akan mampu menjadikan media sebagai sarana belajar yang efektif. <br />
Kita dituntut untuk mampu mengenali<i> "pesan yang tersembunyi" </i>yang termuat dalam media.<br />
Mengenalinya akan membuat kita dapat memanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.<br />
<br />
Mari memanfaatkan media dengan cerdas sebagai sumber belajar, buatlah anak-anak merasa nyaman dan senang saat belajar.<br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-34179839643882792992011-04-12T23:00:00.006+07:002011-05-31T12:23:04.649+07:00REG SPASI"Ketik reg spasi....kirim ke....", iklan layanan SMS ini sering terdengar di televisi. Bentuk promosi yang lahir seiring perkembangan tehnologi<i> mobilephone (handphone)</i> ini tampak sangat meningkat pesat.<br />
Promosi yang ditawarkan "reg spasi" ini beragam, dari info artis, kontak jodoh, tips percintaan, ramalan bintang, ramalan primbon dll.<br />
<br />
Mekanisme layanan SMS semacam ini ada yang harus mendaftar dahulu dalam bentuk reg spasi dan ada pula yang tak perlu mendaftar dahulu, seperti halnya pengiriman SMS untuk mendukung peserta ajang pencarian bakat.<br />
<br />
Bentuk promosi dengan menggunakan SMS ini dimediatori oleh penyedia jasa<i> (gateway/content provider). </i>Penyedia jasa ini membuat nomer premium empat digit. Ke nomer inilah konsumen mengirimkan SMS, dan pulsa yang digunakan bukan pulsa seperti halnya kita mengirim SMS pada lazimnya. Pulsa untuk mengirim SMS ini minimal dua ribu rupiah atau bisa lebih mahal lagi.<br />
<a name='more'></a><br />
Ini adalah bisnis yang menguntungkan bagi penyedia jasa, stasiun televisi, kreatornya dan operator seluler. Menurut sebuah sumber keuntungan dari bisnis ini hingga milyaran rupiah perbulan. Dan disinyalir pihak operator seluler adalah pihak yang menikmati paling banyak keuntungan.<br />
<br />
Untuk menyakinkan konsumen, terutama bentuk layanan SMS selebriti, maka sang artis "merayu" dengan kata-kata "SMS yang kamu terima langsung dari HP ku lho". Dengan demikian konsumen merasa diistimewakan dan dilayani pribadi oleh sang artis.<br />
<br />
SMS semacam ini sangat menguras pulsa. Dan konsumen baru menyadari saat pulsanya dengan cepat menipis. Dan parahnya untuk menghentikannya pun susah. Berdasarkan informasi jika ingin berhenti tinggal mengetik "unreg" dan mengirim ke nomer tujuan. Namun seringkali "unreg" itu <i>dicuekin</i> oleh operator. Sehingga tetap saja menggerus pulsa. Sampai-sampai ada yang mengganti nomer HP nya agar bisa berhenti berlangganan.<br />
<br />
Remaja adalah kalangan yang dibidik untuk menggunakan fasilitas layanan SMS ini, Kelompok ini memang mudah dibujuk karena umumnya belum kritis dalam berpikir.<br />
Pihak pebisnis memang sangat jeli melihat peluang. Penggunaan HP dikalangan anak-anak dan remaja semakin meningkat. Artinya ini adalah lahan "basah" bagi para pebisnis layanan SMS<i> reg spasi</i><br />
<br />
Selain menguras pulsa, sesungguhnya konsumen juga diberi pesan yang menurut saya tak ada gunanya sama sekali. Saya pernah mencoba meng-reg spasi salah seorang artis, dan dengan segera pesan-pesan dari sang artis mengalir lewat SMS, isinya??? "Hai aku sedang syuting sinetron bla bla bla, jangan lupa nonton ya", "Sore ini aku ke salon mau potong rambut", "Aku sudah selesai syuting, sekarang mau istirahat" dll<br />
Pesan-pesan (yang katanya langsung dari HP artisnya) seperti ini apa gunanya bagi konsumen?. <br />
Pesan-pesan semacam ini tidak memberikan nilai tambah sama sekali (saya menyebutnya "Tidak mencerdaskan"). Belum lagi jika konsumennya adalah anak-anak dan tanpa pengetahuan mereka meng-reg spasi layananSMS yang bermuatan "Dewasa", maka iapun akan mendapat kiriman pesan yang belum layak dikonsumsi, tidak sesuai usianya.<br />
<br />
Untuk itu, agar kita (anak-anak dan remaja khususnya) tak terjebak dalam bentuk promosi semacam ini, ajarkan ia menjadi konsumen yang cerdas. Beritahu ia tentang unsur bisnis di dalam iklan layanan ini. Berapa banyak pulsa yang tersedot, apa gunanya pesan-pesan tersebut dalam kehidupannya dan sebagainya.<br />
Tentu saja sebelum kita mengajarkan anak-anak menjadi konsumen yang cerdas, maka kita sendiri yang harus menjadi konsumen yang cerdas.<br />
<br />
Wallau'alamUnknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-69193167241717541932011-04-11T22:53:00.014+07:002011-05-31T12:22:17.095+07:00Tayangan MistisMasyarakat kita sebenarnya masih sangat lekat dengan budaya mistis. Dalam keseharian, kita dapat menjumpai nuansa mistik di berbagai kesempatan. Lihatlah, masih banyak wanita hamil yang membawa gunting kecil, bawang putih, benang warna warni dll. Semua benda itu adalah simbol penolak bala. Diharapkan dengan membawa benda-benda tersebut, maka si pemegangnya akan selamat dari "serangan" setan yang jahat (mana ada setan yang baik?)<br />
<br />
Sedari kecil kita sudah disuguhi cerita-cerita dan legenda-legenda yang berbau mistik, cerita tentang Joko Tarub misalnya, atau legenda Danau Toba dan Sangkuriang contohnya.<br />
Jasa perdukunan pun bukan sesuatu yang tabu di negeri ini, tanpa sungkan mereka beriklan di berbagai media, dengan tujuan agar orang berbondong-bondong mengunakan kepiawaian sang dukun yang (katanya) mampu "bernegosiasi" dengan mahluk ghaib supaya segala keinginan si klien terpenuhi.<br />
Namun anehnya, banyak pengguna jasa perdukunan yang tak ingin diketahui jika dia menjadi klien sang dukun. Ini menunjukkan kondisi sebagian masyarakat yang<i> </i>masih menggunakan<i> double standart</i>. <br />
<a name='more'></a>Disatu sisi dia ingin dianggap sebagai masyarakat yang rasional, cerdas dan modern (yang menafikan hal-hal yang tak masuk akal) namun disisi lain dia mempercayai hal-hal mistis yang diyakininya mampu mempengaruhi kesuksesan hidupnya.<br />
Tidak semua orang mempunyai keberanian untuk menolak dan mengubah perilaku salah yang telah membudaya dan turun menurun.<br />
<br />
Media sebagai ladang bisnis, tentu saja tak ingin ketinggalan mendapatkan "potongan kue" dari budaya mistis ini.<br />
Media menangkap peluang untuk memperdagangkan kemistikan ini.<br />
Coba anda hitung betapa banyaknya tayangan-tayangan di televisi dan media cetak yang mengusung mistik sebagai kemasannya (sekaligus isinya). Maka berlomba-lombalah para media ini untuk menayangkan program-program dan menurunkan tulisan-tulisan dengan bumbu mistik. Semakin banyak mahluk ghaibnya semakin banyak iklannya. (saya yakin jikalau ada mahluk ghaibnya, pasti dia honornya tak dibayar, dan hak-hak nya sebagai pemeran utama tak dilindungi oleh produsernya).<br />
Semakin menakutkan dan menyeramkan suatu tayangan, maka semakin banyak yang menonton, dan tentu saja semakin banyak yang beriklan. Dan iklan adalah tujuan utama dari tayangan-tayangan semacam ini.<br />
<br />
Faktor sisi masyarakat yang masih kental dengan mistik, dan media yang cenderung memburu keuntungan adalah perpaduan yang pas untuk menumbuh suburkan tayangan-tayangan mistik. <br />
Mau tak mau media adalah pihak yang perlu dipersalahkan dalam hal ini. Media turut serta menyumbangkan pembodohan pada masyarakat. (maaf ya media, saya hanya membela media yang mencerdaskan saja)<br />
<br />
Lalu apa yang harus kita lakukan?. Tidak mudah memang "melawan" media yang telah menggurita, tapi yakinlah setiap langkah kecil yang kita lakukan untuk penyadaran dan membangun daya kritis masyarakat akan dapat berdampak besar jika dilakukan secara terus menerus dan konsisten. Selalu mulailah dari diri kita sendiri. Selalu tanyakan terlebih dahulu "Apakah tayangan ini ada manfaatnya bagi saya?", "Apakah saya dapat lebih cerdas dengan menonton tayangan tersebut?"<br />
<br />
Mari membangun masyarakat yang cerdas. Masyarakat yang tidak saja menerima apa yang disajikan media, namun masyarakat yang mampu "mengendalikan" media untuk hanya memberikan muatan-muatan yang mencerdaskan saja.<br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-4198347496338464242011-04-09T00:24:00.012+07:002011-12-06T13:07:35.431+07:00Kekuatan Sebuah CeritaPernah mendengar nama Jacob Grimm?, jika belum, pernahkan mendengar cerita Putri Salju?..<br />
Nah Jacob Grimm adalah pengarang cerita Putri Salju.<br />
Ia menuliskan cerita Putri Salju, 18 tahun setelah operasi. Jacob harus menjalani operasi pengangkatan tumor tanpa mengunakan anatesi!, untuk mengalihkan proses operasi itu (yang tentu saja sakit sekali) Jacob didongengi cerita yang membuatnya tidak merasa kesakitan.<br />
Kisah Jacob ini tertulis di buku 101 Kisah yang Memberdayakan, karya George W Burns, seorang pakar psikoterapi.<br />
<br />
Saya sendiri mempunyai pengalaman tentang kekuatan sebuah cerita. Saya dahulu sangat takut dengan patung bungkus rokok yang besarnya seperti raksasa (begitulah saat itu saya membayangkan raksasa) yg ada di perempatan jalan menuju rumah saya. Patung itu sebenarnya iklan rokok, namun karena eyang selalu menceritakan bahwa keadaan neraka seperti patung itu, siapa saja yang tidak menurut pada orang tua maka akan dimasukkan ke dalam patung tersebut, yang di dalamnya terdapat api yg sangat panas..hickz..sungguh menakutkan bagi anak seusia saya saat itu (usia 6 tahun). Dan cerita eyang itu terus terngiang hingga saya duduk di kelas 4 SD, dimana saya mengetahui bahwa neraka itu tidak seperti yang digambarkan eyang. <br />
<a name='more'></a><br />
Cerita mempunyai kekuatan dahsyat yang mampu memberi inspirasi, menumbuhkan pemikiran, membentuk disiplin dan mampu menyembuhkan.<br />
Cerita juga mampu mendobrak sempitnya pemikiran yang kadang kita alami dengan cara melihat masalah dari berbagai sudut, dengan berbagai perspektif.<br />
<br />
Seringkali kita menganggap cerita adalah hal yang sepele, namun sebenarnya tidak bagi anak-anak (khususnya). Cerita mampu memainkan imajinasi anak dan cerita adalah sesuatu yang menghibur sekaligus bertabur hikmah.<br />
Jangan segan untuk bercerita pada anak-anak, pilih cerita yang memotivasi dan disampaikan dengan ekspresif. Ajak anak berinteraksi dalam cerita tersebut, sehingga anak tak hanya mendengar saja.<br />
Saat didongengi orangtua adalah saat indah bagi anak-anak, karena menurut pengalaman saya, ada kedekatan antara pencerita dan pendengarnya.<br />
Hingga diusia kepala tiga, saya masih mengingat gaya (almh) mama saya bercerita, isi cerita dan pesan yang beliau sampaikan di akhir cerita. Ini adalah fakta betapa cerita mampu melekat erat di memori seorang anak hingga puluhan tahun kemudian.Dan bayangkan jika cerita itu adalah cerita yang mampu membangun kepercayaan diri, cerita yang membuat anak nyaman dengan lingungan sosialnya. Maka dengan cerita kita bisa menanamkan nilai-nilai positif bagi tumbuh kembang seseorang.<br />
<br />
Mari bercerita :)<br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-46382203603671570272011-04-08T04:42:00.003+07:002011-05-31T12:21:31.625+07:00Majalah Kaum Muda dan NarsisismeSaat ini kita banyak dibanjiri oleh media cetak yang mengusung spesifikasi tertentu. Ada majalah otomotif yang mengulas hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan, ada majalah tentang ibu dan anak, yang membahas tentang tumbuh kembang anak dan peranan orang tua, dan masih banyak lagi majalah-majalah yang secara khusus mengulas sesuatu.<br />
<br />
Kaum muda adalah sasaran empuk pebisnis di bidang media, maka berlomba-lombalah mereka meluncurkan media yang ditujukan untuk kaum muda.<br />
Semua majalah itu sama dan sebangun dengan majalah remaja pendahulunya. Tampilan majalahnya dibuat semenarik mungkin, halaman-halamannya dihiasi banyak gambar dengan warna ceria.<br />
Tema utama majalah remaja (katanya) adalah cara-cara meningkatkan potensi diri dan cara mengekspresikannya.<br />
<a name='more'></a><br />
Saya membaca satu majalah remaja terkenal (yang usia majalahnya lebih dari 30 tahun). Disitu dibahas bagaimana cara mengaplikasikan perona mata (eye shadow) agar tampil segar, bagaimana tampil "chic" saat valentine day, bagaaimana menyiasati rambut ikal yang kering agar tak megar, tips berdandan ala salah satu penyanyi terkenal. Dan masih banyak lagi artikel sejenis di rubrik lain.<br />
<br />
Dalam tulisan di sebuah majalah, Nina M Armando mengatakan artikel-artikel seperti itu sepertinya menyiratkan "Ada masalah dalam tubuh kita", yang harus diatasi. Artikel itu mengingatkan akan tubuh kita yang barangkali gemuk, berkulit kurang putih, wajah yang kurang mulus, rambut yang kurang indah, penampilan yang kurang funky dan seterusnya.<br />
<br />
Definisi cantik yang disebutkan media adalah mereka yang tinggi,, berkulit mulus, berambut lurus dan tidak gemuk. Lalu bagaimana dengan para remaja yang tidak memenuhi "syarat cantik ala media" tersebut?.<br />
Nah mereka meenawarkan solusi dengan iklan-iklan jamu pelangsing, sampo, pemutih kulit dan alat-alat kebugaran lainnya, Media juga menyebutkan bagaimana dan dimana para artis (yang memenuhi kategori cantik ala media) merawat tubuhnya.<br />
<br />
Jika kita jeli, sebenarnya isi majalah remaja kita banyak sekali dijejali oleh hal-hal yang sebenarnya kurang penting. Sedikit sekali media remaja yang membahas tentang masalah sosial dan mengulas bahwa kecerdasan adalah hal utama dibalik penampilan seseorang.<br />
<br />
Bila media remaja terus menerus menyajikan pesan-pesan tentang pentingnya perawatan fisik agar bisa "tampil ekspresif", maka ditengarai hal inilah yang akan memacu munculnya "Gejala Narsisme Baru"<br />
Narsisme adalah kecintaan pada diri sendiri. Semuanya berfokus kepada diri sendiri. Dengan mengutamakan diri, seseorang digambarkan akan hidup bahagia, tidak tertinggal dari sesamanya dan "modern".<br />
<br />
Narisisme pada gilirannya hampir tidak menyisakan ruang pada bagi orang lain, semuanya berfokus pada diri sendiri, orang lain adalah "nomer 18" untuk dipikirkan<br />
"Lho bukankah kita memang diminta untuk terus menerus mengkoreksi diri sendiri?".<br />
YA, tentu saja itu benar. Namun kita hidup dalam lingkungan sosial yang selalu saja mengharuskan kita berinteraksi dengan orang lain, maka berfokus hanya pada diri sendiri pada gilirannya hanya akan membawa kita tak terampil berinteraksi dengan lingkungan sosial dimana beragam karakter orang akan kita jumpai.<br />
Atau barangkali ada yang mengatakan, "Inikan majalah hiburan, masa' menampilkan hal-hal yang "berat"?"<br />
Jawaban saya adalah, kondisi sosial adalah realita bagi kita, kepedulian sosial selayaknya terus dipompakan pada kaum muda, dan media yang membidik kaum muda sebagai pembacanya juga tak perlu khawatir akan kehilangan pembaca karena mengulas hal-hal yang "berat", semua itu tergantung cara mengemasnya. Tentu saja akan menjadi artikel yang menarik jika disajikan dengan gaya khas yang pas bagi kaum muda.<br />
<br />
Jika media kita masih saja mengulas materi yang membuat orang selalu berfokus pada dirinya, maka dikhawatirkan akan tumbuh generasi yang tidak peduli pada lingkungan dan orang sekitarnya, menganggap kesusahan oarng lain bukan menjadi urusannya, yang penting dirinya bahagia. Bisa jadi media adalah penyumbang terbesar tumpulnya kepekaan sosial di kalangan kaum muda.<br />
Orang lain susah??? EGP (emang gue pikirin!!!). *Naudzubillah*<br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-65326146483931263572011-03-16T23:37:00.004+07:002011-05-31T12:21:15.507+07:00Budaya KonsumerSaya pernah melihat di televisi, ada sebuah mall di Jakarta yang mengadakan diskon besar-besaran untuk pembelian alas kaki bermerk internasional.<br />
Peminatnya sangat banyak, mereka rela antre berjam-jam dan antreannya mengular sampai lantai satu, padahal toko terletak di lantai tiga.<br />
<br />
Siapakah para pengantre ini?, apakah mereka orang-orang yang memang membutuhkan alas kaki tersebut?.<br />
Saat pengantre diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi, tak ada satupun yang mengatakan "Saya butuh alas kaki merk ini"<br />
Rata-rata mereka menjawab "Mumpung diskon", "Mereknya terkenal sih", dan berbagai alasan lainnya.<br />
<a name='more'></a><br />
Tanpa kita sadari sebenarnya mereka telah terjebak dalam budaya konsumer, yaitu perilaku membeli sesuatu yang bukan menjadi kebutuhannya.<br />
Darimana datangnya budaya konsumer ini?, tak lain dan tak bukan kita sendirilah yang menciptakan.<br />
<br />
Bila saya cermati, kita seringkali menjadikan belanja sebagai ajang rekreasi. Lihatlah jika hari libur, mal-mal dipenuhi oleh anak-anak dan orangtuanya, remaja dan berbagai tingkataan usia. Mereka tak semuanya berniat belanja, terkadang hanya melihat-lihat saja (window shopping), namun pada akhirnya membeli juga satu dua item produk, atau "hanya" makan saja di gerai makanan.<br />
Alhasil para orangtua inilah yang "menularkan" budaya konsumer pada anak-anaknya. Karena mereka meniru kebiasaan orangtuanya.<br />
<br />
Seringkali kita membeli suatu barang hanya karena tergiur diskon, kartu kredit atau tertarik karena ada hadiahnya, padahal kita tak membutuhkan barang tersebut.<br />
Para pembuat iklan pun berlomba-lomba mengasaah kreatifitasnya agar iklan yang dibuatnya mampu "mengajak" orang untuk membeli.<br />
Dan yang tak cermat akan terjebak dalam iklan tersebut lalu membeli. <br />
<br />
Saya pernah melihat suatu supermarket besar memasang tag "Jika ada yang lebih murah, kami menggantinya 2 kali lipat". Artinya jika anda membandingkan harga di supermarket tersebut dengan harga di luar supermarket, lalu anda mendapati harga diluar lebih murah dari harga supermarket tersebut, maka pihak supermarket akan mengganti uang yang telah anda keluarkan untuk membeli barang tersebut dua kali lipat.<br />
Namun pada prakteknya, hal ini sangat sulit dipraktekkan. Banyak yang merasa malas untuk menuntut, walau dia menjumpai ada toko lain yang menjual lebih murah.<br />
<br />
Berapa sering kita membeli barang karena ingin?, dan coba cermati berapa banyak barang yang kita beli dan akhirnya sia-sia tak terpakai dengan maksimal.<br />
Berapa serng kita membeli toples baru setiap lebaran, dengan alasan ada model baru, padahal toples tahun lalu masih layak pakai.<br />
<br />
Mari mulai sekarang kita menjadi konsumen yang cerdas, yang tak mempan dirayu iklan, kartu kredit dan diskon.<br />
Jangan lagi menjadikan shopping sebagai kegiatan rutin rekreasi.<br />
Isi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, yang berdampak positif bagi pengembangan potensi keluarga.<br />
Terapkan budaya hemat dari lingkup yang paling kecil. Kita adalah contoh bagi anak-anak kita, contoh bagi orang di sekitar kita.<br />
Jangan khawatir untuk dibilang kuno karena tak membeli produk keluaran terbaru.<br />
Jika anda cerdas anda dapat memberikan argumen mengapa anda tidak membeli barang yang memang tidak anda butuhkan saat ini.<br />
<br />
Wallahu'alam.Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-79974401579413705802011-03-08T21:18:00.000+07:002011-03-08T21:18:11.215+07:00Infotainmen Atau Gosip?Acara infotainmen di televisi diawali oleh Kabar-kabari di stasiun RCTI pada penghujung tahun 1990-an, setelah tayangan itu sukses maka bermunculanlah para pengikutnya. Latah, hampir semua stasiun televisi menayangkan acara serupa dengan berbagai judul.<br />
<br />
Menurut Wikipedia Infotainmen berarti : <i>Berita ringan yang menghibur. </i><br />
<i>Infotainment di Indonesia identik dengan acara televisi yang menyajikan berita selebritis dan memiliki ciri khas penyampaian yang unik. (</i>entah dimana khasnya?..apakah di isi beritanya atau cara penyajiannya)<br />
<br />
Jika kita cermati, isi dari infotainmen tak lebih dari hal-hal yang remeh.<br />
Misalnya apa isi dompet si artis, apa makanan kegemarannya, berapa banyak sepatu yang dikoleksinya, mengapa suka boneka sapi, bahkan saat sang artis potong rambut pun di liput dan ditayangkan di televisi.<br />
Hal-hal seperti tersebut diatas sebenarnya sangat tidak penting artinya bagi kita, manfaat apa yang bisa kita ambil dari melihat isi dompet artis?.<br />
<br />
Media kita kini sedang dijejali dengan isi yang membodohi dan tidak mengkondisikan konsumennya untuk mengasah otak . Hal ini diperparah dengan munculnya infotainmen sebagai salah satu isi media, salah satu tayangan yang mengarahkan pemirsanya untuk berpikir hal-hal yang remah dan dangkal.<br />
Belum lagi tayangan infotainmen yang banyak memasuki wilayah pribadi artis yang sesungguhnya tak layak untuk diumbar pada khalayak.<br />
"Lho kan artis milik publik?". mungkin begitu pertanyaan yang akan terlontar jika disinggung tentang keberatan penayangan tersebut.<br />
Prinsip jurnalistik "Name makes news", membuat para pemburu berita berusaha "menelanjangi" artis, semakin sedikit yang tertutupi semakin bagus. Hal ini memunculkan masalah etika yang berdampak pada tergerusnya etika kita bermasyarakat.<br />
<br />
<br />
Jika hanya hal-hal yang remeh yang kita lihat dan dengar, maka memori kita pun hanya diarahkan untuk berpikir yang remeh dan dangkal saja.<br />
Akhirnya wajar jika isi pembicaraan kita hanya tentang artis-srtis itu dan seputar gosip-gosipnya. Kita kehilangan kedalaman, perenungan dan hal-hal bermanfaat, karena kita telah terbuai dengan hal-hal yang remeh.<br />
<br />
Pilihan ada di tangan kita, kitalah yang harus selektif menentukan media yang kita konsumsi.<br />
Jangan sampai media yang kita konsumsi hanya akan membuat kita bodoh dan bebal.<br />
Mari dari sekarang kita cerdas menentukan media yang kita konsumsi.<br />
<br />
<br />
Wallahu'alamUnknownnoreply@blogger.com14tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-68639004285501490082011-03-05T20:07:00.008+07:002011-03-06T17:50:42.245+07:00Kebiasaan???...Dibiasakan Sih!!<div style="text-align: justify;">Dalam buku <i>After the Death of Childhood</i> (Matinya Masa Kanak-Kanak), dikatakan bahwa salah satu sebab matinya masa kanak-kanak adalah karena media. Media turut andil mengenalkan anak-anak pada kehidupan dewasa sebelum waktunya. Coba perhatikan sekarang ini betapa minimnya lagu anak-anak yang bertema kanak-kanak, lalu berapa banyak film anak-anak yang enak ditonton. Media kita saat ini dipenuhi oleh konten dewasa, inilah yang membuat anak-anak "tercerabut" dari masa kanak-kanak yang seharusnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lho kan banyak film kartun anak-anak!</div><div style="text-align: justify;">Ya benar..kartun anak-anak yang tiap hari ditayangkan televisi, namun mari kita cermati isinya, kartun anak-anak yang isinya hubungan percintaan laki-laki dan perempuan dan seks (Popeye, Sailor Moon dll), inikah gambaran anak-anak kita?. Pesan apa yang ingin disampaikan film seperti ini pada anak-anak?. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lalu bagaimana dengan lagu?, wah ini lebih "parah" lagi, bisa dihitung dengan jari tangan lagu-lagu yang menceritakan masa kanak-kanak (saya suka sekali dengan lagu anak-anak yang dinyanyikan Tasya : Libur Telah Tiba, dan semua lagu yang ada di film Sherina)</div><div style="text-align: justify;">Banyak lagu anak-anak sekarang yang syairnya mengandung muatan seks. </div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Ada pula video klip, tabloid-tabloid porno yang dijajakan bebas di perempatan lampu merah,yang foto perempuannya nyaris bugil.</div><div style="text-align: justify;">Juga serbuan film horor, yang entah kenapa selalu saja menjijikkan (make up nya) dan tentu saja film seperti ini memperkenalkan anak kita pada dunia klenik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sinetron- sinetron yang di tayangkan oleh sejumlah stasiun televisi kita pun banyak mengandung unsur kekerasan, konspirasi menjatuhkan lawan dan sejuta intrik. Belum lagi gaya bahasa yang digunakan.</div><div style="text-align: justify;">Kemudian anak-anak juga belajar bergunjing dari infotainment yang selama tujuh hari tujuh malam isinya hampir sama.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tayangan-tangan yang "Tidak Jelas" seperti itu yang membuat anak-anak belajar bahwa itulah yang seharusnya mereka lakukan.</div><div style="text-align: justify;">Lho kan tayangan itu bukan untuk anak-anak?...</div><div style="text-align: justify;">Siapa yang bisa menjamin anak-anak tidak melihat tayangan yang di putar di waktu dimana mereka sedang rehat, dimana waktu itu memang waktu anak-anak menonton televisi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Nah jika pola-pola seperti ini (menikmati tayangan yang isinya tidak sesuai dengan usianya) terus menerus dilakukan setiap hari, maka akan menjadi suatu kebiasaan yang lalu dianggap suatu hal lumrah, sesuatu yang tidak ada salahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kita bisa menjadi "Pemutus" mata rantai matinya masa kanak-kanak ini dengan sosialisasi.</div><div style="text-align: justify;">Kita adalah tokoh sosialisasi bagi anak-anak untuk tayangan-tayangan dan isi media lain yang bermanfaat. </div><div style="text-align: justify;">Dampingi anak-anak jika melihat tayangan, lalu jika ada konten yang tak sesuai dengan usianya.</div><div style="text-align: justify;">Kita jadi "Provokator" yang memberitahu bahwa tayangan itu tidak baik.</div><div style="text-align: justify;">Terus sosialisasikan muatan-muatan bermutu di berbagai media pada anak-anak.</div><div style="text-align: justify;">Jangan pernah lelah menolak isi media yang buruk untuk dikonsumsi anak.</div><div style="text-align: justify;">Biasakan mengkonsumsi media-media yang sehat.</div><div style="text-align: justify;">Jika televisi telah dipenuhi "Racun" bagi anak-anak, tak ada salahnya kita menyediakan ensiklopedia.</div><div style="text-align: justify;">Jangan khawatir anak-anak tidak bisa mencernanya.</div><div style="text-align: justify;">Mereka mampu jika dibiasakan!!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bukankah kehidupan mengajarkan bahwa sesuatu bisa menjadi kebiasaan jika dibiasakan.</div><div style="text-align: justify;">Terbiasa mengkonsumsi media buruk maka anak-anak pun akan melakukan kebiasaan yang buruk.</div><div style="text-align: justify;">Mari dampingi dan ajak bicara anak kita jika ada muatan media yang kita rasa "terlalu dewasa".</div><div style="text-align: justify;">Tentu anak perlu mengenal kehidupan dewasa, namun nanti, pada saat yang tepat.</div><div style="text-align: justify;">Dan itu baru bisa kita lakukan jika kita cerdas dan cermat melihat isi media.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wallahu'alam</div>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-72032850398320193222011-03-02T18:49:00.003+07:002011-03-06T17:41:34.106+07:00Melek Media Yuk<div style="text-align: justify;">Futurolog paling terkenal saat ini, John Naisbitt menyatakan bahwa kini kita hidup di zona Mabuk Teknologi.</div><div style="text-align: justify;">Zona ini membingungkan dan membuat gamang, karena serbuan teknologi (termasuk media) yang begitu gencar sehingga membuat orang tak tahu lagi makna yang diperoleh dari berbagai teknologi modern itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lihatlah, anak-anak masa kini banyak menghabiskan waktunya di depan layar. Layar televisi,layar komputer maupun layar handphone.</div><div style="text-align: justify;">Kita tidak bisa menolak teknologi maupun menyalahkan teknologi. Yang bisa kita lakukan adalah memahami pesan visual. Itulah yang disebut <b>MELEK MEDIA</b></div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Melek media artinya konsumen media dapat berpikir kritis tentang apa yang disuguhkan oleh media. Mereka akan mempertanyakan motif dibalik suatu tayangan dan tulisan di suatu media.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kesadaran untuk menggunakan media secara kritis dan bijak dapat ditumbuhkan dari diri kita sendiri, yang diharapkan akan menjadi kesadaran massal yang akan "memaksa" industri media menampilkan suguhan yang layak dan bermanfaat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mari kita yang telah bergelut di berbagai media mencontohkan hal baik bagi lingkungan, setidaknya lingkungan terdekat kita.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jangan harap anak-anak kita menggali informasi dari internet jika orangtuanya hanya bisa bermain game di internet.</div><div style="text-align: justify;">Jangan harap anak-anak akan menonton tayangan bermutu, jika orang tuanya masih menikmati sinetron, gosip dan tayangan sejenis.</div><div style="text-align: justify;">JAngan harap anak-anak akan mencari artikel di FB, jika orangtuanya menggunakan FB hanya utk komentar dan ngubek-ubek foto di FB orang lain.</div><div style="text-align: justify;">Jangan harap anak kita berpikir kritis terhadap media, jika kita tak melek media</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mari bersama-sama kita langkahkan kaki menuju melek media.</div><div style="text-align: justify;">Satu gerakan besar selalu diawali oleh langkah kecil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wallahu'alam</div>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-22281347774998703372011-03-01T20:17:00.001+07:002011-03-05T23:42:18.999+07:00AVID, Penyakit Yang Terus Menyebar<div style="text-align: justify;">Sebuah artikel di sebuah majalah menyebutkan tentang<b> AVID</b> (Acquired Violence Immune Deficiency) atau <b>penurunan kekebalan terhadap kekerasan</b>.</div><div style="text-align: justify;">Yang mencetuskan nama ini adalah Letnan Kolonel David Grossman, mantan guru besar psikologi di West Point, Akademi militer AS.</div><div style="text-align: justify;">Grossman adalah pensiunan tentara pakar desinsititasi (hilangnya kepekaan perasa), yang melatih para prajurit agar mereka lebih efesien dalam membunuh.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penyebab AVID adalah kekerasan, yang oleh industri media tentu saja tidak kekerasan, tapi dengan gaya bahasa yang diperhalus menjadi "laga","aksi" dsb.</div><div style="text-align: justify;">Betapa banyak kita menyaksikan kekerasan di televisi yang kemudian lambat laun akan berdampak pada pemirsanya (khususnya anak-anak).</div><div style="text-align: justify;">Kekerasan disuguhkan bukan hanya dalam bentuk tayangan film, sinetron, game, namun juga dalam iklan dan dalam bahasa yang digunakan.</div><div style="text-align: justify;"></div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">Dalam pengamatan saya, keluarga Indonesia memilih menonton televisi sebagai sarana hiburan, dan parahnya tayangan televisi kita masih didominasi oleh tayangan-tayangan yang minim muatan pendidikan. Hanya sedikit sekali tayangan yang enak ditonton (mudah dimengerti bagi sebagian pemirsa) dan sarat muatan pendidikan (tayangan Kick Andy di Metro TV misalnya).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hal yang terus menerus dilakukan, dilihat dan dirasa maka akan menjadi kebiasaan.</div><div style="text-align: justify;">Kebiasaan melihat kekerasan membuat tak lagi sensitif terhadap kekerasan, dan jika ini terjadi secara massal maka akan terjadi efek desentiasi massal...bayangkan jika secara massal kita kehilangan rasa sensitif terhadap kekerasan (telah ada contohnya bukan?!...bagaimana segerombolan orang dengan tanpa perasaan</div><div style="text-align: justify;">mengobrak-abrik hingga membunuh sekumpulan manusia yang tak sependapat dengan mereka)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Desensititasi membuat kita menjadi kebal dengan penderitaan orang lain, kesakitan orang lain, menumpulkan empati kita.</div><div style="text-align: justify;">Padahal kemanusiaan kita anatara lain ditentukan sejauh mana kita berempati terhadap penderitaan orang lain, sejauh mana tanggungjawab kita atas keselamatan orang lain dansejauh mana kita berupaya membantu orang lain.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kita sebagai orang yang "melek" media seharusnya mampu memberikan kontribusi kita terhadap lingkungan. </div><div style="text-align: justify;">Tentu kita mulai dengan lingkungan terdekat kita...saring dan buang yang memang sampah.</div><div style="text-align: justify;">Media bukan hanya televisi, namun ada juga media cetak, internet dll.</div><div style="text-align: justify;">Kemampuan kita untuk menyaring apa yang layak kita konsumsi ditentukan oleh cara pandang kita. Selalu tanyakan terlebih dahulu sebelum beraktivitas apapun "Apakah ini bermanfaat bagiku, bagi sekelilingku?". Menurut pengalamanku dengan bertanya seperti itu sebelum memulai aktivitas, mampu mengerem kita untuk tidak melihat, mendengar dan membaca dan melakukan sesuatu yang tidak membuat kita cerdas...apalagi membuat kita semakin tumpul, tumpul dalam hal apapun.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wallahualam.</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-798593424464811170.post-38707848357432978332011-03-01T16:08:00.001+07:002011-03-05T23:42:23.322+07:00Blog BaruTelah 2 tahun aku tak aktif ngeblog, hari ini semangat lagi karena harian Tribun Pekanbaru memberi ruang untuk para blogger menulis.<br />
Karena blogku <a href="http://berbagibersana.blogspot.com/">http://berbagibersana.blogspot.com/</a> susah log in nya...maka aku dibantu seorang teman (Cebong Ipiet) membuat blog baru ini. Maklum aku hanya bisa posting, kalo sudah masalah ngutek2 template dan lain-lain gapteknya masya Allah. Niatnya sih blog ini berisi opiniku tentang suatu hal, dan tempat berbagi dengan teman-teman, tempat menyebar manfaat.<br />
Hyukk kita berbagi ilmu disini.Unknownnoreply@blogger.com4