Pages

Senin, 08 Agustus 2011

Anak Digital

Anak-anak yang lahir setelah tahun 1980 dapat disebut Anak Digital atau Digital Natives. Mereka mengakses teknologi jejaring digital serta memiliki keterampilan dan pengetahuan.
Jika mereka disebut digital Natives, lalu siapakah para orang tuanya?. Para orang tua itu disebut Digital Immigrants, yakni mereka yang telah mengadopsi dan menggunakan internet serta teknologi terkait, namun terlahir sebelum era digital.
Digital Immigrants belajar bagaimana mengoperasikan komputer, membuat dan menggunakan e-mail dan jejaring sosial, namun proses itu berlangsung "terlambat" dibanding Digital Native yang mengenyam teknologi sejak dini.


Pemahaman mereka yang tumbuh di era digital tentang internet menjadikan mereka satu tingkat atau beberapa tingkat lebih tinggi dibanding generasi digital Immigrants.
Namun bukan berarti pemahaman tersebut membuat mereka terhindar dari hal-hal yang buruk akibat penggunaan internet. Beberapa penelitian dan pemberitaan menunjukkan justru generasi inilah yang rentan terkena dampak negatif internet.
Salah satu dampak penggunaan internet, terutama di usia remaja, adalah kecanduan atau adiksi.
Kecanduan adalah pangkal segala jenis masalah lain yang timbul akibat penggunaan internet. Remaja bisa menarik diri dari lingkungan sosial, kehilangan konsentrasi belajar, mengalami gangguan kesehatan, bahkan menjadi korban dari kejahatan dunia maya (cyber crime).
Orang tua dan guru juga sebaiknya memahami karakter anak digital ini. Digital Natives lebih memilih membaca blog, atau media online daripada surat kabar atau majalah. Mereka lebih memilih bertemu orang lain secara online sebelum bertemu secara langsung. Interaksi sosial anak-anak ini, termasuk pertemanan dan aktivitas kemasyaraktan dimediasi oleh teknologi digital.

Digital Natives adalah generasi yang mengutamakan kecepatan. Maklum mereka hidup di era internet, dimana komunikasi dapat dengan cepat dilakukan dan informasi sangat ceat tersebar. akibatnya mereka cenderung untuk melakukan segala hal dan menginginkan sesuatu dengan cepat.

Genersi digital juga tidak menyukai segala sesuatu yang konvensional dan standar. Mereka senang yang baru dan inovatif. bisa dibayangkan bagaimana jenuhnya anak-anak ini ketika membaca buku teks mereka di sekolah yang masih memakai pendekatan linear dan konvensional.
Bisa dibayangkan pula bagaimana anak-anak ini yang terbiasa dengan penyajian internet nan menyenangkan, lalu harus mendengarkan guru mereka di sekolah yang masih menggunakan metode keonvensional dalam mengajar. Bagi anak digital cara mengajar seperti itu dianggap basi.

Mereka juga amat menghargai kebebasan, mulai dari kebebasan memilih, hingga kebebasan berekspresi. Ini tentu tidak lepas dari "ideologi"  internet itu sendiri. Sebuah media yang dikenal tidak mengenal batasan. Karena itulah, tak heran jika digital natives menganggap kebebasan sebagai salah satu nilai terpenting dalam kehidupannya.

Orang tua, guru dan kita semua sudah tidak bisa lagi menghindar dari tuntutan untuk memahami media-media baru dengan baik sekaligus memahami interaksi antara anak generasi digital dengan media-media baru.
Pemahaman bukan hanya diperlukan agar kita tidak menjadi orangtua dan guru yang mendapat label "gaptek" atau "jadul", tetapi menjadikan kita, si digital immigrants lebih memahami karakter digital natives. Dengan demikian dapat menjalin komunikasi yang lebih baik dengan mereka.

Wallahu alam

(sumber Nina Muthmainah Armando)

3 komentar:

  1. Aku lebih suka Digimon sih mbak els.. #selayang #apeu

    BalasHapus
  2. salam kenal mbk...

    makin suka kalo digital hehe.. ikut kopdar + buber mbk di jember?

    BalasHapus
  3. @Miwwa >Aku suka Dora Emon #gaknanyambak

    @Agriculture World >salam kenal kembali mas
    lho kok nanya ikut kopdar + buber di Jember mas?..saya kan di Pekanbaru (walau pernah ke Jember dan kenal dgn bbrp mastah Jember).
    Mas Anggota the Blogger Matre/suwar suwir ya?

    BalasHapus