Pages

Rabu, 16 Maret 2011

Budaya Konsumer

Saya pernah melihat di televisi, ada sebuah mall di Jakarta yang mengadakan diskon besar-besaran untuk pembelian alas kaki bermerk internasional.
Peminatnya sangat banyak, mereka rela antre berjam-jam dan antreannya mengular sampai lantai satu, padahal toko terletak di lantai tiga.

Siapakah para pengantre ini?, apakah mereka orang-orang yang memang membutuhkan alas kaki tersebut?.
Saat pengantre diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi, tak ada satupun yang mengatakan "Saya butuh alas kaki merk ini"
Rata-rata mereka menjawab "Mumpung diskon", "Mereknya terkenal sih", dan berbagai alasan lainnya.

Tanpa kita sadari sebenarnya mereka telah terjebak dalam budaya konsumer, yaitu perilaku membeli sesuatu yang bukan menjadi kebutuhannya.
Darimana datangnya budaya konsumer ini?, tak lain dan tak bukan kita sendirilah yang menciptakan.

Bila saya cermati, kita seringkali menjadikan belanja sebagai ajang rekreasi. Lihatlah jika hari libur, mal-mal dipenuhi oleh anak-anak dan orangtuanya, remaja dan berbagai tingkataan usia. Mereka tak semuanya berniat belanja, terkadang hanya melihat-lihat saja (window shopping), namun pada akhirnya membeli juga satu dua item produk, atau "hanya" makan saja di gerai makanan.
Alhasil para orangtua inilah yang "menularkan" budaya konsumer pada anak-anaknya. Karena mereka meniru kebiasaan orangtuanya.

Seringkali kita membeli suatu barang hanya karena tergiur diskon, kartu kredit atau tertarik karena ada hadiahnya, padahal kita tak membutuhkan barang tersebut.
Para pembuat iklan pun berlomba-lomba mengasaah kreatifitasnya agar iklan yang dibuatnya mampu "mengajak" orang untuk membeli.
Dan yang tak cermat akan terjebak dalam iklan tersebut lalu membeli.

Saya pernah melihat suatu supermarket besar memasang tag "Jika ada yang lebih murah, kami menggantinya 2 kali lipat". Artinya jika anda membandingkan harga di supermarket tersebut dengan harga di luar supermarket, lalu anda mendapati harga diluar lebih murah dari harga supermarket tersebut, maka pihak supermarket akan mengganti uang yang telah anda keluarkan untuk membeli barang tersebut dua kali lipat.
Namun pada prakteknya, hal ini sangat sulit dipraktekkan. Banyak yang merasa malas untuk menuntut, walau dia menjumpai ada toko lain yang menjual lebih murah.

Berapa sering kita membeli barang karena ingin?, dan coba cermati berapa banyak barang yang kita beli dan akhirnya sia-sia tak terpakai dengan maksimal.
Berapa serng kita membeli toples baru setiap lebaran, dengan alasan ada model baru, padahal toples tahun lalu masih layak pakai.

Mari mulai sekarang kita menjadi konsumen yang cerdas, yang tak mempan dirayu iklan, kartu kredit dan diskon.
Jangan lagi menjadikan shopping sebagai kegiatan rutin rekreasi.
Isi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, yang berdampak positif bagi pengembangan potensi keluarga.
Terapkan budaya hemat dari lingkup yang paling kecil. Kita adalah contoh bagi anak-anak kita, contoh bagi orang di sekitar kita.
Jangan khawatir untuk dibilang kuno karena tak membeli produk keluaran terbaru.
Jika anda cerdas anda dapat memberikan argumen mengapa anda tidak membeli barang yang memang tidak anda butuhkan saat ini.

Wallahu'alam.

4 komentar:

  1. setuju sekali dengan isi postingan diatas. Sepertinya perlu juga ada pembelajaran kepada publik tentang bagaimana membelanjakan uang miliknya dengan bijaksana dan tidak mudah tergiur program "sale".

    BalasHapus
  2. emang kitanya ni doyan dari konsumer mulu....maunya jadi babu aja bukan jadi pemain dalam usaha he he he he

    BalasHapus
  3. yang kurang budaya produktif...

    BalasHapus
  4. *konsumen cerdas konsumen cerdas konsumen cerdas*
    *doktrin diri sendiri*

    BalasHapus